RUU TNI: Ekonomi Semakin Melemah?
RUU TNI: Ekonomi Semakin Melemah?
Pada
akhir bulan Maret, publik ramai memperbincangkan tentang pengesahan Revisi
Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Pengesahan tersebut ramai
memicu reaksi publik dan terbit secara luas penolakan dari masyarakat sipil,
mahasiswa dan akademisi. Penolakan tersebut didasarkan pada kekhawatiran atas
supremasi sipil, hal tersebut dikarenakan dampak dari RUU TNI ini, tidak hanya
menimbulkan ketegangan militer dan sipil, tetapi juga menimbulkan gelombang
demonstrasi mahasiswa, masyarakat sipil dan hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah tampaknya
lebih fokus pada penegakan kekuasaan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi
jangka panjang, yang justru bisa memperburuk ketegangan sosial. Tidak hanya
itu, RUU TNI juga berdampak besar terhadap perekonomian di Indonesia meliputi inefisiensi
sumber daya, peningkatan anggaran pertahanan yang semakin membebani Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ketidakpastian investasi serta sentimen
pasar.
Direktur
Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celious) Bhima Yudhistira,
memandang penempatan TNI di ranah sipil dapat menjadi masalah inefisiensi
sumber daya, hal tersebut didasarkan pada gap keahlian militer yang
berbeda dengan pekerjaan sipil, terutama dalam pengambilan keputusan yang
strategis.
Fenomena
bertambahnya tugas dan tanggung jawab TNI serta peningkatan kesejahteraan prajurit
TNI yang ada serta adanya batas usia pensiun yang diperpanjang sesuai dengan
pangkat prajurit dapat membebani anggaran APBN. Hal tersebut dapat dilihat dari
total belanja pegawai pemerintah tahun ini yang sudah menembus Rp521,4 triliun serta
meningkat tajam 85,5% dalam 10 tahun terakhir.
Pengadaan
program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan perpanjangan usia pensiun TNI dapat
menyebabkan Crowding out effect yakni konsep yang menjelaskan bahwa
peningkatan belanja pemerintah justru menggantikan dan menurunkan belanja
sektor swasta, sehingga mengkibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Defisit
APBN diperkirakan menembus 3% dalam waktu singkat dan bisa melanggar konstitusi
keuangan negara tahun 2003 yang berkaitan dengan batas APBN yang ditetapkan 3%
dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang kemudian diperparah dengan melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Peningkatan belanja yang besar, terutama
yang berfokus pada sektor pertahanan dibuktikan dengan total anggaran
Kementrian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan) mencapai Rp166,26 triliun
dibandingkan dengan belanja Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
(Kemendiksaintek) yang hanya Rp57,68 trilliun, Kementrian Pendidikan Dasar dan
Menengah (Kemendasmen) Rp33,55 triliun dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) sebesar
Rp 105,65 triliun dapat menjadi indikasi bahwa kebijakan pemerintah lebih
mengutamakan sektor yang mudah dikuasai daripada mengalokasikan anggaran untuk
kebutuhan yang lebih mendesak di sektor lain.
Pengesahan
Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) dapat membawa sentimen negatif untuk pasar
modal Indonesia. Dilihat dari sisi investasi, keberadaan TNI di posisi sipil terkesan
memberikan kesempatan bahwa ekonomi kembali kepada sistem komando, bukan
berdasarkan inovasi dan persaingan sehat. Hal tersebut dikhawatirkan investor akan
mempertimbangkan ulang target Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct
Iinvestment (FDI) yang ditetapkan pemerintah senilai Rp3.414 triliun pada
2029 akan sulit tercapai. Kebijakan ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang
pentingnya menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi sektor swasta, yang
justru berpotensi memperburuk ketergantungan negara pada belanja militer dan
menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.
Komentar
Posting Komentar