ECONOMICS MONTHLY REPORT : JULY
ECONOMIC
MONTHLY REPORT ON JULY
1. Waspada! Bayang-bayang inflasi dari lonjakan harga (6 Juli)
Jakarta,
CNN Indonesia -- Karut marut bahan pangan menghantui lonjakan inflasi.
Setelah kenaikan harga minyak goreng selama berbulan-bulan lamanya, kali ini
ekonomi nasional dibayangi kenaikan harga pangan. Kenaikan harga pangan
terjadi mulai dari harga cabai, bawang putih dan bawang merah, telur, daging
ayam, hingga daging sapi.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com pada Selasa (5/7), di Pasar Ciracas,
Jakarta Timur, harga cabai rawit merah menyentuh Rp120 ribu per kilogram (kg).
Padahal, harga komoditas ini normalnya hanya Rp40 ribu per kg
Kemudian di Pasar Senen, Jakarta Pusat, harga cabai rawit merah menyentuh Rp95
ribu per kg. Harga yang sama juga berlaku untuk cabai merah keriting. Saat berbincang dengan
pedagang, mereka mengklaim kenaikan cabai utamanya disebabkan kurangnya pasokan
dari petani, sehingga stok yang dimiliki terbatas.
"Harga naik karena pasokan dari petani gak ada," ungkap Desi (40)
pedagang di pasar Ciracas.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada pekan lalu pun melaporkan stok cabai rawit
merah dan bawang sedang defisit, sehingga harganya melonjak di pasar. Kondisi kenaikan harga
sejumlah komoditas pangan ini pun mengakibatkan lonjakan inflasi di dalam
negeri. Bahkan, melampaui level yang ditetapkan pemerintah sebesar 2-4 persen
pada APBN 2022.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono pun mengungkapkan lonjakan
harga cabai rawit menjadi salah satu pendorong utama inflasi Juni 2022 yang
tembus 4,35 persen (year on year/yoy). Realisasi inflasi pun tercatat tertinggi
sejak Juni 2017.
"Penyumbang inflasi pada Juni berasal dari komoditas cabai merah, cabai
rawit, bawang merah dan telur ayam ras," ujarnya dalam konferensi pers
virtual, Jumat (1/7).
Padahal
sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan bawah stok bahan
pangan banyak dan aman. Sayangnya, data di lapangan tidak sejalan dengan klaim
tersebut.
Ekonom
CORE Yusuf Rendy Manilet melihat kenaikan harga bahan pokok utamanya disebabkan
oleh terganggunya rantai pasok dari berbagai wilayah sentra cabai.
“Saya
kira pengaruh rantai pasok menjadi penting untuk penentuan harga suatu barang.
Artinya, ketika rantai pasoknya terganggu, maka distribusi akan berkurang.
Distribusi akan berkurang, sementara di sisi lain permintaan itu tetap terjadi,
maka secara otomatis itu akan meningkatkan harga,” ujarnya, Selasa (5/7).
Ia
mencontohkan gangguan alur rantai pasok ini juga sebelumnya terjadi pada minyak
goreng, sehingga harganya melonjak tajam. Pasalnya, permintaan minyak goreng
tetap tinggi di tengah kelangkaan pasokan.
“Setelah distribusi yang terganggu tetapi
permintaannya masih tetap tinggi ini yang kemudian bermuara terhadap harga yang
pada saat itu ikut meningkat cukup signifikan. Saya kira, dengan konteks cabai
pun relatif sama,” terang dia.
Tentunya kondisi ini mempengaruhi tingkat inflasi
dalam negeri yang bergerak ke level di atas 4 persen pada Juni lalu dan tidak
menutup kemungkinan kembali tinggi pada Juli 2022. Artinya, ia melihat bahwa
gangguan rantai pasok sangat mempengaruhi inflasi karena otomatis harga-harga naik.
Kondisi ini dinilai bisa mengganggu proses pemulihan
ekonomi ke depannya jika tidak segera dikendalikan. Walaupun, sampai sejauh ini
ia melihat bahwa kenaikan inflasi belum akan membawa Indonesia sampai ke jurang
resesi karena fundamental perekonomian dalam negeri yang masih cukup baik.
“Kalau melihat dari berbagai indikator utama
perekonomian setidaknya sampai dengan Juni, saya melihatnya belum ada kemudian
tanda ekonomi Indonesia akan berada pada fase resesi. Memang, betul bahwa
inflasi mengalami kenaikan yang cukup signifikan, namun kenaikan ini masih
berada pada range target inflasi yang ditentukan oleh pemerintah,” jelasnya.
Bhima juga menilai jika masalah ini terus berlarut,
maka Indonesia bisa mengalami krisis pangan seperti negara lainnya. Salah
satunya Sri Lanka, yang paling mencolok dan India yang melakukan proteksi
“Bukan tidak mungkin dengan global food security index
Indonesia yang berada di posisi 69 di antara negara lain, bahkan lebih rendah
daripada Malaysia, Vietnam dan Singapura, maka harus jadi warning (peringatan)
bahwa krisis pangan bisa melemahkan pemulihan ekonomi, menurunkan konsumsi
rumah tangga, dan berpengaruh terhadap durable goods,” jelasnya.
“Kalau orang fokus untuk mengamankan konsumsi atau
kebutuhan pokok yang primer, maka ia akan mengurangi pembelian kebutuhan yang
sifatnya sekunder. Ini bisa membuat penjualan di sektor tersier dan sekunder
turun dan memicu risiko stagflasi di dalam negeri,” lanjut Bhima menutup.
2. IMF sebut prospek ekonomi global suram (13 Juli)
Prospek ekonomi global
disebut Dana Moneter International (IMF) "gelap signifikan". Bahkan
dapat memburuk lebih lanjut.
Hal ini ditegaskan
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, Rabu (13/7/2022) dalam sebuah
postingan blog menjelang pertemuan menteri keuangan dunia dan gubernur bank
sentral di G20, Bali. Perang Rusia dan Ukraina serta melambungnya inflasi
mengancam kelaparan dan kemiskinan meluas.
"Ini akan menjadi
2022 yang sulit, dan mungkin 2023 yang lebih sulit, dengan peningkatan risiko
resesi," tulis Georgieva, dikutip AFP.
Ia pun mengatakan IMF
akan kembali menurunkan perkiraan pertumbuhan global. Di April, ekonomi global
diperkirakan tumbuh 3,6%.
"Kami memperingatkan
ini bisa menjadi lebih buruk mengingat potensi risiko penurunan ... beberapa
dari risiko itu telah terwujud dan berbagai krisis yang dihadapi dunia semakin
meningkat," katanya.
"Prospeknya tetap
sangat tidak pasti ... yang termiskin akan terkena dampak paling parah,"
tambahnya seraya menyebut ketidakstabilan sosial juga akan terjadi.
Di kesempatan yang sama,
ia menegaskan penting bagi dunia untuk memerangi
lonjakan harga. Meski, risiko resesi bisa terjadi.
Ia juga mengatakan
bagaimana mengimbangi dampak prang dan pandemi menjadi prioritas utama. Namun
ini bisa dilakukan dengan bantuan keuangan multilateral dan keringanan utang.
"Mengurangi utang
adalah kebutuhan mendesak, terutama di negara berkembang dan berkembang dengan
kewajiban dalam mata uang asing yang lebih rentan terhadap pengetatan kondisi
keuangan global," jelasnya.
Sebelumnya, IMF
memberikan sebuah peringatan bagi ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS),
Selasa. Lembaga itu menyebut resesi semakin sulit untuk dihindari oleh
Washington.
Dalam sebuah rilis, IMF
memangkas perkiraan pertumbuhan AS 2022 menjadi 2,3%, dari sebelumnya 2,9% yang
dirilis akhir Juni. Karena data terbaru menunjukkan melemahnya belanja
konsumen.
IMF juga memangkas
perkiraan pertumbuhan PDB riil 2023 menjadi 1,0% dari 1,7% pada pengumuman 24
Juni. Pemangkasan ini dilakukan ketika lembaga itu bertemu dengan pejabat AS
untuk penilaian tahunan kebijakan ekonomi AS.
3. Inflansi AS makin menggila,kini tembus 9,1 persen (14 Juni)
Badan Pusat
Statistik (BPS) Amerika Serikat (AS) melaporkan laju inflasi negara
tersebut pada bulan Juni mencapai 9,1 persen, inflasi ini merupakan yang
tertinggi sejak tahun 1981 atau 41 tahun lalu.
"Para konsumen harus membayar
harga yang lebih tinggi untuk berbagai barang pada bulan Juni karena inflasi
terus menahan perlambatan ekonomi AS," sebut Biro Statistik Tenaga Kerja
mengutip CNBC, Kamis (14/7/2022).
Indeks harga konsumen, barang dan
jasa sehari-hari yang terkait dengan biaya hidup, melonjak 9,1 persen dari
tahun lalu, di atas perkiraan Dow Jones 8,8 persen. Itu menandai laju
inflasi tercepat sejak November 1981.
Sementara itu laju inflasi inti
negeri Paman Sam meningkat 5,9 persen dibandingkan dengan perkiraan 5,7
persen. Inflasi inti memuncak pada 6,5 persen pada bulan Maret dan telah
turun sejak itu.
Pada basis bulanan, IHK utama naik
1,3 persen dan IHK inti naik 0,7 persen dibandingkan dengan perkiraan
masing-masing 1,1 persen dan 0,5 persen.
Secara bersama-sama, angka-angka
tersebut tampaknya bertentangan dengan narasi bahwa inflasi mungkin memuncak,
karena kenaikannya didasarkan pada berbagai kategori.
“CPI memberikan kejutan lain, dan
sama menyakitkannya dengan angka Juni yang lebih tinggi, sama buruknya dengan
sumber inflasi yang meluas,” kata Robert Frick, ekonom korporat di Navy Federal
Credit Union.
“Meskipun lonjakan CPI dipimpin
oleh harga energi dan makanan, yang sebagian besar merupakan masalah global,
harga terus meningkat untuk barang dan jasa domestik, dari tempat tinggal
hingga mobil hingga pakaian jadi.” tambah Robert.
Laju inflasi ini dorong oleh
kenaikan harga energi yang melonjak 7,5 persen pada bulan tersebut dan naik
41,6 persen selama 12 bulan. Indeks makanan meningkat 1 persen, sementara
biaya tempat tinggal, yang membentuk sekitar sepertiga dari CPI naik 0,6 persen
untuk bulan tersebut dan naik 5,6 persen setiap tahun.
Ini adalah bulan keenam
berturut-turut bahwa makanan di rumah naik setidaknya 1 persen. Biaya sewa naik
0,8 persen di bulan Juni, kenaikan bulanan terbesar sejak April 1986,
menurut BLS.
Saham sebagian besar merosot mengikuti
data sementara imbal hasil obligasi pemerintah melonjak.
Sebagian besar kenaikan inflasi
berasal dari harga bensin, yang meningkat 11,2 persen pada bulan tersebut dan
hanya sedikit dari 60 persen untuk periode 12 bulan. Biaya listrik masing-masing
naik 1,7 persen dan 13,7 persen.
Sementara itu harga kendaraan baru
dan bekas membukukan kenaikan bulanan masing-masing sebesar 0,7 persen dan 1,6
persen.
Biaya perawatan medis naik 0,7
persen pada bulan tersebut, didorong oleh peningkatan 1,9 persen dalam layanan
gigi, kenaikan bulanan terbesar yang pernah tercatat untuk sektor tersebut
dalam data sejak tahun 1995.
Sedangkan tarif penerbangan adalah
salah satu dari sedikit area yang mengalami penurunan, turun 1,8 persen di
bulan Juni meskipun masih naik 34,1 persen dari tahun lalu. Kategori
daging, unggas, ikan dan telur juga turun 0,4 persen untuk bulan ini tetapi
naik 11,7 persen secara tahunan.
Kenaikan tersebut menandai bulan
yang berat bagi konsumen, yang telah menderita karena melonjaknya harga untuk
segala hal mulai dari tiket pesawat hingga mobil bekas hingga bacon dan telur.
4. Stagflasi serius ancam ekonomi dunia,ini dampaknya jika terjadi di indonesia (15 juli)
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko terjadinya stagflasi serius
mengancam perekonomian dunia. Pada awal Juni lalu, Bank Dunia memperingatkan
invasi Rusia ke Ukraina telah menambah kerusakan ekonomi global yang sudah
terguncang akibat pandemi Covid-19. Saat ini, banyak negara tengah menghadapi
resesi ekonomi.
Reuters memberitakan, Bank Dunia dalam laporan Prospek
Ekonomi Global mengatakan, perang di Ukraina telah memperbesar perlambatan
ekonomi global, yang sekarang memasuki apa yang bisa menjadi "periode pertumbuhan
yang lemah dan inflasi yang berlarut-larut". Inilah yang disebut dengan
stagflasi.
Bank Dunia
memperingatkan bahwa prospek ekonomi dunia masih bisa menjadi lebih buruk lagi
akibat stagflasi. Dalam konferensi pers, Presiden Bank Dunia
David Malpass mengatakan pertumbuhan global bisa turun menjadi 2,1% pada 2022
dan 1,5% pada 2023, mendorong pertumbuhan per kapita mendekati nol, jika risiko
penurunan terwujud.
Stagflasi merupakan
periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi tinggi. Stagflasi terakhir kali
terlihat pada 1970-an.
"Bahaya stagflasi
cukup besar saat ini," tulis Malpass dalam kata pengantar laporan
tersebut.
Lantas, apakah stagflasi bisa terjadi di
Indonesia?
Menurut Chief
Economist Bank Permata Josua Pardede, kondisi stagflasi juga berpotensi terjadi
di Indonesia jika stagflasi dialami oleh mitra dagang utama Tanah Air, seperti
China dan Amerika Serikat.
"Diperkirakan
bila stagflasi terjadi, maka aliran ekspor dan investasi Indonesia akan
cenderung terhambat di tangah proses pemulihan pasca pandemi," ujar dia
kepada Kompas.com, Kamis (14/7/2022).
Akan tetapi, Josua
menilai potensi stagflasi di Indonesia sebenarnya masih relatif rendah meskipun
realisasi inflasi terus merangkak naik. Sebab indikator konsumen Indonesia
masih terjaga seiring dengan komitmen pemerintah menjaga harga berbagai jenis
komoditas.
Namun demikian, risiko
stagflasi tetap ada. Ini disebabkan harga berbagai komoditas naik tinggi yang
merupakan imbas dari terganggunya rantai pasok global saat ini.
Apa yang terjadi jika terjadi stagflasi?
Josua mengatakan jika
memang terjadi, stagflasi akan berimbas kepada daya beli masyarakat. Ini
disebabkan oleh lonjakan inflasi dan konsumsi masyarakat yang justru menurun
seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Penurunan daya
beli masayarakat kemudian mendorong perlambatan pengeluaran konsumen secara
global," kata Josua.
Sementara itu,
Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios) Bhima Yudhistira
menyebutkan, risiko stagflasi yang juga diikuti oleh resesi akan berdampak
kepada peningkatan biaya hidup.
Selain harga komoditas
yang meningkat, masyarakat juga akan dihadapi oleh suku bunga pinjaman yang
tinggi.
Sebagaimana diketahui,
dalam rangka memerangi inflasi tinggi, bank sentral biasanya akan menaikkan
suku bunga acuannya. Ini dilakukan untuk meredam daya beli masyarakat, sehingga
inflasi dapat mereda.
"Bagi pekerja tentu tentu imbasnya biaya
hidup semakin mahal, sementara upah hanya naik rata-rata 1 persen, mau cicilan
motor dan rumah juga semakin mahal karena suku bunga otomatis naik,"
tuturnya.
Dalam jangka panjang,
Bhima mengatakan pekerja rentan bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan meskipun
tetap aktif bekerja.
"Banyak tekanan
yang disebut sebagai cost of living crisis atau krisis biaya hidup," ucap
dia.
Sebelumnya, Bank
Indonesia (BI) menyebut dunia sedang menghadapi risiko stagflasi yang serius
akibat beberapa hal yang menyebabkan gejolak dalam perekonomian.
5. Sri Mulyani sebut pasar modal penting untuk pembiayaan perekonomian (15 juli)
https://nasional.kontan.co.id/news/nilai-impor-juni-2022-tercatat-sebesar-us-2100-miliar-naik-1287-mom
KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Pasar modal memiliki peran penting dalam
pembangunan berkelanjutan. Pasar modal juga berperan dalam mengalokasikan
sumber daya keuangan yang terbatas dan membuat fungsi perantara dengan cara
yang paling efisien dalam menjembatani penabung dan investor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati mengatakan, pasar modal sangat penting untuk pembiayaan perekonomian.
Pasar modal juga memungkinkan mobilisasi dana dari penyedia yaitu rumah tangga,
asuransi, dana pensiun kepada kliennya.
“Para investor ingin menginvestasikan
uangnya seefektif mungkin di pasar modal, serta dengan risiko dan potensi
imbalan yang bisa diterima,” tutur Sri Mulyani dalam acara G20 Side Event:
Joint G20/OECD Corporate Forum, di Nusa Dua Bali, Kamis (14/7).
Dia mengatakan, kontribusi pasar
modal yang efektif dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, menjadi
bahan diskusi yang panjang diantara para ekonom.
Fungsi pasar modal yang mendorong
pertumbuhan ekonomi antara lain memfasilitasi likuiditas, membantu pengurangan
risiko, memantau perilaku manajerial, dan memproses informasi.
Menurutnya, pasar modal dalam
mempromosikan keberlanjutan dapat dikaitkan dengan beberapa hal, diantaranya,
pertama, bagaimana pasar modal dapat memobilisasi tabungan dan peningkatan
modal dan mengarahkannya ke proyek yang sejalan dengan prinsip Environmental,
Social and Governance (ESG).
Kedua, bagaimana pasar modal dapat
mengubah visi perusahaan dengan memasukkan kriteria ESG ke dalam praktik
manajemen terbaik mereka dengan membatasi akses keuangan bagi mereka yang
melanggar ESG.
Ketiga, pasar modal dapat mempengaruhi
praktik tata kelola perusahaan yang baik yang mendorong pembangunan
berkelanjutan melalui mekanisme kepemilikan.
“Namun, terlepas dari fakta bahwa
pasar keuangan telah mengadopsi faktor ESG, tampaknya tidak ada perubahan
dramatis yang mendukung perusahaan sehingga bisa lebih berkelanjutan. Jadi pada
kenyataannya, ini masih tidak signifikan dan oleh karena itu dalam forum
pertemuan G20 ini kami ingin terus mempromosikan gerakan ini, dan tata kelola
perusahaan terutama, untuk mendorong lebih banyak investasi ESG yang
konsisten,” imbuhnya.
6. Lonjakan
inflansi bikin pusing bank sentral seluruh dunia (17 juli)
Jakarta, CNN Indonesia --
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan lonjakan inflasi
menjadi masalah yang kompleks bagi bank sentral di seluruh dunia.
Perry menjelaskan inflasi terjadi karena gangguan rantai pasok. Alhasil,
pasokan barang menipis di tengah kenaikan permintaan.
"Kita tahu dunia sekarang menghadapi masalah inflasi, ini berasal dari
sisi gangguan rantai pasok dan juga dampak perang di Ukraina," ungkap
Perry dalam Gala Seminar di Bali, Minggu (17/7).
Untuk mengatasi masalah itu, bank sentral biasanya
akan mengerek suku bunga acuan demi menekan inflasi. Kebijakan itu sudah
dilakukan oleh beberapa bank sentral, salah satunya The Fed.
Namun, kenaikan suku bunga acuan di bank sentral negara lain akan mempengaruhi
aliran modal asing di suatu negara. Misalnya, kenaikan bunga acuan di The Fed
berpotensi membuat investor ramai-ramai menarik dana dari Indonesia dan Eropa.
Pasalnya, suku bunga yang ditawarkan dalam berinvestasi di AS lebih menarik
ketimbang di RI dan Eropa seiring dengan kenaikan bunga acuan The Fed.
"Bagaimana kami menyikapinya dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral
lain. Bagaimana dampaknya terhadap aliran modal. Dengan suku bunga tinggi, maka
bisa juga aliran modal (di negara lain) keluar," papar Perry.
Ketika aliran modal asing keluar dari suatu negara, maka akan membuat
stabilitas keuangan di negara itu terganggu. Dengan demikian, bank sentral di
seluruh dunia harus saling berkoordinasi dalam membuat kebijakan agar tak
menimbulkan dampak negatif bagi negara lain.
"Jadi ini sangat menantang dan kompleks untuk bank sentral di seluruh
dunia. Bagaimana mengembalikan harga barang lebih stabil dan pada waktu yang
sama menangani aliran modal serta potensi perlambatan ekonomi global. Ini
sangat kompleks," jelas Perry.
Di Indonesia sendiri, inflasi tercatat 0,61 persen secara bulanan (month to
month/mtm) per Juni 2022. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak April 2022
yang sebesar 0,95 persen.
Lalu, inflasi tercatat 4,35 persen secara tahunan (year on year/YOY) per Juni
2022. Realisasi itu menjadi yang tertinggi sejak 2017.
Begitu juga dengan AS yang mencatat inflasi sebesar 9,1 persen secara tahunan
per Juni 2022. Angka itu menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Namun, bank sentral AS telah menaikkan bunga acuan beberapa kali sepanjang
semester I 2022. Sebaliknya, BI justru masih menahan bunga acuan di level 3,5
persen.
7. Harga
minyak melonjak usai dolar AS lunglai (19 juli)
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mentah
dunia melonjak lebih dari 5 persen pada perdagangan pada akhir perdagangan
Senin (18/7), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terutama dipicu oleh
pelemahan dolar AS.
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September melonjak US$5,11
atau 5,1 persen ke US$106,27 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka West Texas
Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Agustus sebesar US$5,01 atau 5,1 persen
ke US$102,60 per barel.
Pekan lalu, Brent dan WTI mencatat penurunan mingguan terbesar dalam satu bulan
terakhir.
"Kemajuan kuat hari ini sebagian besar dihasilkan dari pelemahan dolar AS
yang cukup besar dan berbasis luas yang telah memberikan pendorong utama di
balik perubahan harga minyak harian selama beberapa minggu terakhir," kata
Pimpinan Ritterbusch and Associates LLC Jim Ritterbusch di Galena,
Illinois, seperti dikutip dari Antara, Selasa (19/7).
Pelemahan dolar AS membuat komoditas berdenominasi dolar lebih terjangkau bagi
pemegang mata uang lainnya.
Dolar AS keok usai dua pejabat The Federal Reserve AS (The Fed) pada Jumat lalu
mengindikasikan bank sentral AS kemungkinan hanya akan menaikkan suku bunga
sebesar 75 basis poin (bps) pada pertemuan 26-27 Juli 2022 atau lebih rendah
dari proyeksi sebelumnya, 100 bsp.
Kenaikan harga minyak juga tak lepas dari sentimen pasokan ketat. Perjalanan
Presiden AS Joe Biden ke Arab Saudi tidak menghasilkan janji apa pun dari
produsen utama OPEC untuk meningkatkan pasokan minyak.
Selain itu, berdasarkan surat yang dilihat Reuters, monopoli ekspor gas Rusia
Gazprom menyatakanforce majeurepada pasokan gas ke Eropa untuk setidaknya satu
pelanggan utama berpotensi meningkatkan konflik antara Moskow dan Eropa.
Kondisi itu turut mendorong harga minyak karena berpotensi sebagai awal dari
tindakan Rusia untuk menggunakan energi sebagai senjata.
"Rusia akan lebih jauh memangkas pasokan energi ke Eropa untuk mencoba
menaikkan biaya mendukung Ukraina dan menjatuhkan sanksi," ujar Kepala
Strategi Komoditas global RBC Capital Markets Helima Croft.
8. Hati-
Hati, Lonjakan Inflansi Global Belum Capai Klimaks ( 22 juli)
Jakarta, CNN Indonesia -- CEO Goldman Sachs David Solomon
memperingatkan lonjakan inflasi global yang terjadi sekarang ini belum
mencapai klimaksnya.
Karenanya, ia meminta setiap negara di dunia harus mempersiapkan kebijakan
untuk menangani hal tersebut karena masih ada peluang untuk mengantisipasinya.
"Ada peluang bagus bahwa kita belum mencapai puncaknya," ungkap
Solomon seperti dikutip dari CNN Business, Kamis (21/7).
Lebih lanjut ia mengatakan jika inflasi mencapai klimaks, risiko resesi kian
nyata. Apalagi, bank sentral AS (The Fed), telah menaikkan suku bunga tiga kali
di sepanjang tahun ini.
"Setiap kali Anda mengalami inflasi tinggi dan mengalami pengetatan
ekonomi, Anda akhirnya mengalami semacam perlambatan ekonomi. Jadi, saya pikir
kemungkinan kita mengalami resesi tinggi," kata Solomon.
Lonjakan inflasi terjadi di banyak negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Bahkan, ada yang inflasinya mencapai rekor tertinggi dalam puluhan
tahun terakhir.
Penyebabnya, tak lain adalah perang Rusia dan Ukraina. Ketegangan antar dua
negara ini mengakibatkan lonjakan harga-harga berbagai komoditas dunia,
terutama minyak dan pangan.
Kenaikan harga-harga ini membuat lonjakan inflasi yang tinggi jadi tidak
terelakkan. Beberapa di antaranya AS dengan inflasi 9,1 persen pada Juni 2022.
Ini adalah level tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Kemudian, Turki dengan realisasi inflasi 78,62 persen pada Juni 2022. Angka ini
menjadi inflasi tertinggi dalam 24 tahun terakhir.
Lonjakan inflasi itu dikarenakan tidak ada subsidi yang diberikan pemerintah
untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM dibiarkan bergerak
mengikuti harga pasar, sehingga inflasi ikut melonjak.
Selanjutnya, ada Selandia Baru yang mencatatkan inflasi sebesar 7,3 persen pada
Juni 2022. Angka inflasi ini mencapai level tertingginya dalam 32 tahun
terakhir.
Sementara, inflasi tahunan Inggris melonjak jadi 9,4 persen pada Juni kemarin.
Inflasi itu merupakan yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Sama dengan negara lainnya, inflasi di Selandia Baru dan Inggris melonjak
dipicu kenaikan harga BBM dan makanan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa dan Amerika, inflasi di Asean
terpantau terkendali.
Pasalnya, negara seperti Indonesia dan Malaysia terus menambah anggaran subsidi
dan kompensasi energi. Tercatat, inflasi Indonesia 4,35 persen pada Juni 2022.
Sementara, inflasi Malaysia mencapai 2,8 persen pada Mei 2022.
Sedangkan, negara-negara Asean lainnya, seperti Brunei baru merilis data
inflasi hingga Maret 2022 yang tercatat 3,8 persen. Kemudian, Kamboja yang pada
Maret mencatatkan inflasi 7,2 persen.
Selanjutnya, Myanmar baru merilis data inflasi pada Januari 2022 yang tercatat
sebesar 13,82 persen.
Komentar
Posting Komentar