ECONOMICSPEDIA

 


Amerika Serikat Terancam Masuk Jurang Resesi, Peluang Resesi Mencapai 85%


Angka inflasi Amerika Serikat terus meningkat hingga 8,6% pada Mei 2022. Angka inflasi ini merupakan yang tertinggi sejak 41 tahun terakhir. Perlu diketahui, saat ini di Amerika Serikat tarif listrik dan beberapa sumber energi lainya naik 3,9% pada Mei 2022. Sementara itu, harga bensin melonjak 4,1% dan biaya makanan naik 1,2%

Inflasi yang tinggi ini membawa The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1.5% - 1.75%. Kenaikan bunga yang agresif hampir pasti terjadi sebab inflasi di AS terus meroket.

Kepala ekonom di Comerica Bank Bill Adams mengatakan bahwa inflasi ini diduga dipicu oleh perang Rusia vs Ukraina yang terjadi sejak akhir Februari 2022.

Mayoritas anggota komite  pembuat kebijakan moneter The Fed melihat suku bunga diakhir tahun akan berada di 3.4% atau di rentang 3.25% - 3.5%. Rentang suku bunga tersebut jauh dari suku bunga netral yaitu 2.5% - 2.75%. Artinya semakin jauh suku bunga diatas netral, risiko perlambambatan ekonomi hingga resesi menjadi semakin meningkat.

Lebih lanjut lagi, inversi imbal hasil yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun. Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Sementara itu bank investasi JP Morgan mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham. Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.

Tidak hanya Amerika Serikat saja yang mengalami dampak resesinya sendiri. Isu resesi Amerika Serikat sejauh ini sudah berdampak ke pasar finansial Indonesia. Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun lebih dari 2%, melanjutkan penurunan 1,3% minggu sebelumnya.

Pasar obligasi dalam negeri juga ikut tertekan. Maklum saja, kenaikan suku bunga The Fed membuat yield Treasury ikut menanjak. Alhasil, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 24,6 basis poin menjadi 7,466%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield naik artinya harga sedang turun. Saat harga turun, artinya ada aksi jual yang melanda pasar obligasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ECONOMIC MONTHLY INSIGHT

DATA INSIGHT